Tim Nasional Indonesia U-22 datang ke SEA Games 2025 dengan beban sekaligus kehormatan sebagai juara bertahan, setelah sukses monumental di Kamboja pada edisi 2023. Namun, alih-alih mempertahankan medali emas, perjalanan Garuda Muda di bawah asuhan pelatih Indra Sjafri justru berakhir antiklimaks, gugur total di fase grup tanpa mampu menunjukkan daya saing yang diharapkan.

Kegagalan ini memicu gelombang kekecewaan masif di kalangan publik sepak bola nasional. Ironisnya, hingga kini, kegagalan besar ini seperti diselimuti keheningan di tingkat pucuk pimpinan PSSI. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang sangat lantang bersuara dan mengambil peran sentral dalam euforia emas 2023, justru belum memberikan pernyataan resmi mengenai kegagalan total yang terjadi tahun ini.


🤐 Diamnya Pimpinan vs. Suara Kekesalan Publik

Kritik pedas dari berbagai pihak kini tertuju pada jajaran PSSI karena absennya pernyataan tanggung jawab kolektif. Ketika euforia kemenangan SEA Games 2023 di Kamboja menjadikan seluruh jajaran PSSI sebagai pihak yang berhak bergembira dan mengambil manfaat politis serta citra, maka seharusnya kegagalan tahun ini juga menjadi tanggung jawab kolektif seluruh pengurus, bukan hanya menunjuk satu atau dua individu.

Fokus kritik dan komentar menyerang secara anehnya justru diarahkan kepada Wakil Ketua Umum PSSI, Zainudin Amali. Mantan Menpora itu memang memberikan tanggapan, tetapi cenderung bersifat normatif dan defensif.

“Kita harus menerima kenyataan. Evaluasi pasti ada, tapi apakah pelatih diganti atau tidak, itu ranah Exco,” ujar Amali.

Sementara itu, Exco PSSI, Arya Sinulingga, melalui media sosialnya justru melontarkan komentar yang dianggap tidak bijak dan lepas tangan, menyatakan ia tidak mengerti soal urusan SEA Games 2025. Pernyataan-pernyataan seperti ini, di tengah kegagalan besar yang baru saja terjadi, dinilai publik sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dan menghindari pertanggungjawaban.

Erick Thohir sendiri saat ini disibukkan dengan urusannya sebagai Menteri BUMN di sela-sela event SEA Games 2025 secara keseluruhan (bukan hanya sepak bola), yang membuat fokusnya terhadap kegagalan sepak bola U-22 terkesan terbagi atau bahkan terabaikan. Padahal, peran Ketua Umum PSSI sangat krusial untuk menenangkan situasi dan memastikan evaluasi berjalan transparan.

Mengulang Kesalahan Fatal di Jalur Piala Dunia 2026

Kegagalan di SEA Games 2025 ini bukan satu-satunya momen di mana PSSI era baru dinilai mengambil keputusan yang merusak momentum. Publik masih mengingat betul trauma yang terjadi beberapa bulan sebelumnya terkait upaya Timnas Senior Indonesia mengejar mimpi lolos ke Piala Dunia 2026.

Di bawah bimbingan pelatih Shin Tae-yong (STY), Timnas Senior Indonesia sudah berada dalam jalur yang tepat (on track) di babak kualifikasi. Kekompakan tim, filosofi permainan yang jelas, dan hasil-hasil yang memuaskan membuat optimisme publik melambung tinggi.

Namun, di tengah perjalanan krusial tersebut, PSSI membuat keputusan kontroversial dan fatal: mengganti Shin Tae-yong dengan legenda Belanda, Patrick Kluivert.

Keputusan ini menuai kecaman hebat dari berbagai penjuru. Meskipun Kluivert adalah nama besar, pergantian pelatih di tengah kompetisi dan di saat tim sedang on track terbukti menjadi bencana. Indonesia akhirnya harus kandas di Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 dan gagal menggapai pentas dunia yang sudah di depan mata.

Publik sangat kesal dan sulit menerima pergantian pelatih di tengah jalan tersebut, yang dianggap merusak fondasi dan momentum yang sudah dibangun STY.

❓ Korelasi Kegagalan: Manajemen Risiko dan Visi Jangka Panjang

Dua kegagalan besar—gagal total di SEA Games 2025 dan kegagalan di Kualifikasi Piala Dunia 2026 akibat pergantian pelatih kontroversial—mengindikasikan adanya masalah yang lebih fundamental di tubuh PSSI.

1. Ketiadaan Visi Jangka Panjang yang Konsisten: Pergantian pelatih Shin Tae-yong menunjukkan inkonsistensi dalam proyek pembangunan tim nasional senior. PSSI tampak terlalu mudah tergiur dengan nama besar tanpa mempertimbangkan stabilitas tim.

2. Kegagalan Mempertahankan Momentum: Keberhasilan emas 2023 seharusnya menjadi modal untuk membangun skuad U-22 yang lebih kuat. Kegagalan di 2025 menunjukkan kurangnya perencanaan matang dalam suksesi pemain dan persiapan tim pelatih Indra Sjafri.

3. Krisis Kepemimpinan Saat Krisis: Ketidakmampuan atau keengganan pucuk pimpinan untuk segera bicara dan bertanggung jawab kolektif atas kegagalan ini menciptakan kekosongan kepemimpinan dan memperkeruh suasana. Sebuah organisasi olahraga yang sehat harus mampu mengakui kegagalan secepat dan setransparan mungkin.

PSSI seharusnya belajar dari masa lalu: kemenangan adalah milik semua, namun kegagalan adalah tanggung jawab bersama. Menunjuk satu atau dua orang, atau mengalihkan perhatian dengan isu lain, tidak akan menyelesaikan akar masalah. Evaluasi yang transparan, tegas, dan melibatkan seluruh stakeholder adalah harga mati yang harus segera dilakukan jika Indonesia ingin kembali menatap masa depan sepak bola yang lebih cerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *