Jakarta, 1 Desember 2025 – Kabar pemanggilan skuad Timnas U-22 Indonesia untuk menghadapi SEA Games 2025 di Thailand kembali memicu perdebatan sengit di kalangan pecinta sepak bola Tanah Air. PSSI secara resmi telah mengumumkan 23 nama yang akan dibawa, termasuk empat pilar berstatus diaspora yang berkarier di Eropa. Salah satu nama yang paling menyorot perhatian dan menimbulkan kontroversi adalah Marselino Ferdinan dari klub Slovakia, AS Trencin.

Marselino, yang kini berusia 21 tahun, terpaksa sekali lagi meninggalkan tugas profesionalnya di klub untuk membela Garuda Muda dalam turnamen regional yang tidak masuk dalam kalender resmi FIFA. Sebuah siklus berulang yang dikhawatirkan banyak pihak akan menghambat laju perkembangan kariernya di Benua Biru.

Selain Marselino, tiga pemain diaspora lain yang juga dipanggil adalah Dion Markx (TOP Oss), Ivar Jenner (Jong FC Utrecht), dan Mauro Zijlstra (Volendam). Kehadiran mereka menunjukkan komitmen PSSI dalam memperkuat timnas, namun kasus Marselino menjadi studi kasus paling nyata tentang benturan kepentingan antara ambisi timnas dan kemajuan karier individu.

Jeda Tak Berujung: Kisah Stagnasi Karier Eropa

Sejak hijrah ke Eropa, perjalanan karier Marselino Ferdinan di level klub diwarnai oleh interupsi yang tak terhindarkan. Mulai dari KMSK Deinze di Belgia, Oxford United di Inggris, hingga kini di AS Trencin Slovakia, ia hampir tidak pernah menjalani satu musim penuh yang fokus bersama klubnya. Panggilan tim nasional untuk turnamen non-FIFA, seperti SEA Games dan Piala AFF U-23, terus memotong waktu bermain dan adaptasinya.

Kekhawatiran utama para pengamat adalah bahwa momentum Marselino, yang seharusnya sedang berada di fase krusial perkembangan taktis dan fisik di kompetisi Eropa, terpaksa terhenti. Klub-klub Eropa sangat menghargai stabilitas dan kehadiran pemain dalam sesi latihan dan pertandingan liga. Kehilangan pemain kunci dalam periode penting, apalagi tanpa kompensasi kalender FIFA, tentu merugikan klub dan dapat memengaruhi loyalitas serta kepercayaan pelatih.

Dalam dua musim terakhir, bahkan saat membela AS Trencin, Marselino harus menghadapi dilema ini. Ia menjadi simbol betapa sulitnya bagi pemain muda Indonesia untuk menyeimbangkan antara patriotisme yang tinggi dan tuntutan profesionalisme di kancah global.

Keputusan ‘Dipaksakan’ di Atas Pencapaian Puncak

Pemanggilan Marselino untuk SEA Games 2025 terasa redundant dan terkesan dipaksakan. Alasannya sederhana: ia telah mencapai target tertinggi di ajang ini. Pada SEA Games edisi 2023 di Kamboja, Marselino adalah bagian integral dari tim bersejarah yang berhasil merebut medali emas setelah penantian panjang. Di usia 19 tahun saat itu, ia sudah membuktikan kelasnya di level Asia Tenggara.

Dengan usianya yang masih 21 tahun, Marselino memang masih memenuhi syarat usia U-22, tetapi banyak pihak menilai fokusnya saat ini seharusnya sudah beralih ke Timnas Senior dan mengamankan posisi inti di klub Eropa. Mengembalikan seorang peraih emas ke kompetisi yang sama hanya memunculkan pertanyaan tentang regenerasi dan efektivitas program pembinaan usia muda. Seolah-olah, Timnas U-22 Indonesia belum mampu menemukan pengganti sepadan yang bisa tampil tanpa harus mengorbankan karier pemain yang sudah go international.

Jadwal Mepet dan Tuntutan Kedatangan Lebih Awal

SEA Games 2025 kali ini berlangsung lebih ringkas. Indonesia tergabung di Grup C dan hanya akan memainkan dua laga fase grup: melawan Filipina pada 8 Desember dan melawan Myanmar pada 12 Desember.

Namun, yang menambah polemik adalah permintaan PSSI agar para pemain, termasuk Marselino, sudah bergabung dengan pemusatan latihan jauh lebih awal. PSSI menargetkan para pemain sudah berkumpul pada 30 November, dan paling lambat pada 1 Desember. Artinya, Marselino harus meninggalkan AS Trencin lebih dari seminggu sebelum pertandingan perdana, memotong waktu bermainnya di liga domestik yang sedang berjalan.

Permintaan ini menimbulkan tantangan diplomatik yang besar bagi PSSI saat bernegosiasi dengan klub Eropa. Klub tentu akan mempertanyakan urgensi melepaskan pemain kunci mereka untuk periode yang relatif panjang, demi dua pertandingan fase grup yang kepentingannya jauh di bawah standar kompetisi Eropa. Situasi ini menempatkan Marselino dalam posisi yang sulit; di satu sisi ada panggilan negara yang tak bisa ditolak, di sisi lain ada karier profesional yang harus dijaga.

Masa depan pemain-pemain diaspora Indonesia sangat bergantung pada keseimbangan antara panggilan Merah Putih dan perkembangan di Eropa. Jika PSSI terus memanggil pemain kunci yang berkarier di luar negeri untuk turnamen non-FIFA, risiko utama yang mengintai adalah stagnasi atau bahkan kegagalan total mereka dalam menembus level tertinggi sepak bola Eropa. Solusi jangka panjang adalah membangun pondasi pemain muda berkualitas di dalam negeri, sehingga kebutuhan untuk ‘memaksakan’ pemain diaspora pulang untuk turnamen regional dapat diminimalisir. Marselino Ferdinan kini menjadi barometer sejati dari kebijakan PSSI ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *